terbang bersamamu

terbang bersamamu

Sabtu, 16 Maret 2013

perkawinan adat padang


Perkawinan Adat Minangkabau

Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal.

Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga.

Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.

Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.

Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.

Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan.

Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan.

Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara.

Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.

Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :

Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang.

Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya.

Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa "Perkawinan itu sesuatu yang agung", yang kini diyakini hanya "sekali" seumur hidup.

Rabu, 13 Maret 2013

SAKURA

SINOPSIS NOVEL SAKURA KARYA NOVA AYU MAULITA


1.      Judul buku                           : Sakura2.      Nama pengarang                  : Nova Ayu Maulita3.      Tempat penerbitan buku      : PT. Lingkar Pena Kreativa.                                               Jl.Jaga Karsa(Simadakarsa) No .A-1                                               Jakarta Selatan 126204.      Tahun penerbitan                 : 20105.      Tebal buku                           : 400 halaman6.      Panjang buku                       : 20,5 cm

Jepang, negara yang pernah menjajah Indonesia selain dikenal sebagai negara produsen mobil dunia juga terkenal penduduknya yang sangat disiplin dan penuh dengan etos kerja yang tinggi. Segala sesuatunya diperhitungkan. Terutama bagaimana mereka memanfaatkan waktu yang ada. Bagi orang Jepang waktu adalah uang. Time is money. Tak heran jika dalam hidup mereka tidak ada istilah berleha-leha, santai-santai atau sekadar nongkrong dengan membuang waktu secara percuma. Sementara di Indonesia “jam karet” sampai detik ini masih berlaku. Keterlambatan keberangkatan kereta, pesawat, bus atau angkutan umum lainnya menjadi sesuatu yang lumrah. Jadi cukup beralasan jika hidup di negara ini akan akrab dengan keterlambatan. Mudah membatalkan janji karena sebuah alasan seperti hujan dan semacamnya. Sementara di Jepang, hal itu menjadi aib. Pantang bagi orang Jepang untuk membatalkan janji atau sekadar terlambat lima menit hanya karena alasan yang sepele.

Novel Sakura karya Nova Ayu Maulita ini memaparkan tentang perbedaan budaya dua negara di atas. Jepang-Indonesia. Yang dari segi budaya memang banyak sekali perbedaan yang bisa dipelajari untuk selanjutnya kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Novel ini bercerita tentang Kirana, mahasiswa Indonesia yang mempunyai kesempatan belajar di Tokyo Gaikokugo Daigaku (Tougaidai), Jepang. Interaksinya bersama Hiro, tutor sekaligus guide-nya selama setahun di Jepang membuatnya banyak belajar tentang kebudayaan negara pria ramah bermata sipit itu. Bagaimana Hiro memanfaatkan waktu, menghargai orang lain dengan selalu menepati janji, membuat Kirana berdecak kagum dengan sosok Hiro yang juga mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di kampusnya. Hingga ia merasakan ada sesuatu yang lain dalam hatinya. Meskipun ia sendiri tidak mengerti apakah perasaan itu pantas disebut cinta atau sekadar kagum karena Hiro telah banyak membawa perubahan pada dirinya. 

Cinta adalah kebersamaan yang hangat. Begitulah Kirana merasakan dan memaknai kehadiran Takayama Hiro. Pria itu tak sekadar tutornya selama ia menjalani pertukaran pelajar di Jepang, tapi juga asa bagi Kirana untuk merajut kebahagiaan masa depan. Kebahagiaan yang juga dirajut Kirana bersama sahabat-sahabat antarbangsanya; Voleak, Sandra, Andres, Wahib, dan Grace.

Hingga perpisahan, sesuatu yang tidak diharapkan oleh Kirana dan sabahat-sahabatnya itu pun tiba. Mereka sepakat, bahwa suatu haru (musim semi) nanti, pada musim sakura, akan kembali ke Jepang. Kirana pun harus pulang ke Indonesia dan menjalani rutinitasnya di kampus Universitas Gadjah Mada. Di sinilah banyak kejutan-kejutan yang dipaparkan Nova Ayu Maulita lewat tokoh utama bernama Kirana. Kirana banyak menemukan keganjilan-keganjilan di sekitarnya setelah aktif di LSM Gerakan Anti Pornografi dan Pornoaksi (GARIS). Kirana merasa miris dengan perilaku kalangan pelajar dan mahasiswa yang di usia muda sudah akrab dengan pergaulan yang kelewat bebas. Free sex, yang sudah akrab dalam kehidupan kota pelajar Yogyakarta. Namun Nova Ayu Maulita memaparkannya dengan bahasa yang ‘santun’. Meminjam istilah Joni Ariadinata dalam pengantar buku ini, Nova Ayu menjabarkan ‘adegan-adegan’ secara detail tanpa melakukan negasi yang keras dari sudut agama:

Rudi mendekatkan duduknya pada gadis itu. ”Kalau begitu, ajari saja aku sekali lagi.” Rudi menatap Tasya. Tasya kini juga menatapnya. Meskipun benci telah menumpuk di dada, tetap Tasya harus jujur kalau sepasang mata di depannya punya pesona. Ia pernah tersihir oleh itu, bahkan tergila-gila. Dari Rudi jugalah ia dulu yakin menjajaki pilihan hidup ini. ”Malam ini!” desahnya.

Angin malam berhembus lembut. Rambut Tasya tertiup angin. Angin itu juga membawa serta bau harum shampoo-nya, bau parfum, bau strawberry yang manis, dan bau angin malam itu sendiri. Malam memang selalu punya banyak cerita. Ada ribuan catatan kejadian yang terjadi setiap malam, juga malam itu. Bahwa akhirnya saat setengah rembulan tertutup awan, Tasya pergi meninggalkan cafe itu bersama Rudi. Untuk mencatatkan satu kisah malamnya.” (hal.177)

Dalam novel ini kita banyak belajar. Bukan hanya tentang perbedaan budaya, sosial, tapi juga bagaimana memaknai perbedaan dalam beragama. Bagaimana seorang Hiro yang tak percaya dengan adanya Tuhan, dapat menghargai ibadah yang dilaksanakan Kirana selama ada di Jepang. Yang menurut Hiro penuh dengan keanehan. Hal ini juga tampak pada ketegasan Kirana yang selalu berhati-hati setiap akan makan di restoran atau membeli daging yang diragukan kehalalannya. Bagaimana Kirana, yang menurut Hiro selalu patuh dengan ajaran agama dan Tuhannya meskipun ia tak pernah melihat wujud Tuhan itu seperti apa.

Mangapa Kirana perlu percaya pada Tuhan, padahal ia pernah bilang belum pernah melihat Tuhannya. Mengapa gadis itu mau berbuat hal-hal luar biasa, tak umum, dan cenderung menyulitkan, dengan keyakinan itu perintah Tuhannya. Seandainya ia mau, tentu ia bisa melanggarnya. Tuhannya yang ada di Indoensia itu tidak akan melihatnya. Tapi kata Kirana, Tuhannya tidak berdiam di Indonesia, tapi ada di mana-mana, dekat dengannya. Hiro sering tidak habis pikir dengan angan-angan Kirana. (hal. 215)

Kesibukan Kirana merampungkan skripsi, mengajar dan aktif di GARIS tidak melupakannya bahwa suatu ketika pada musim sakura akan kembali ke negeri Naruto itu. Ia berjuang keras untuk mendapatkan beasiswa agar bisa kembali ke negeri sakura, bertemu Hiro dan kembali merajut mimpi yang pernah ia titipkan pada sakura. Lebih-lebih ketika orangtuanya merencanakan perjodohannya dengan pria bernama Ridwan, semakin besarlah harapannya untuk kembali ke Jepang. Menikmati kota Tokyo meskipun dengan biaya hidup yang tidak murah. Orangtuanya ingin Kirana segera menikah. Jika tidak cocok dengan Ridwan, Kirana harus bisa membawa calon suami yang lebih baik dari Ridwan. Begitu pinta Bapaknya.

Membaca bab demi bab novel ini kita akan menemukan kejutan-kejutan. Keganjilan demi keganjilan. Konflik demi konflik saling bertautan. Menunggu penyelesaian yang memang tidak mudah jika tidak serius untuk mengatasinya. Dari masalah cinta, persahabatan, hingga kisah kelam kehidupan “ayam kampus” yang menimpa beberapa sahabat Kirana yang juga tenggelam dalam kerasnya kehidupan Yogyakarta. Akankah program GARIS, yang diikuti Kirana mampu mengubah perilaku anak muda Yogya yang pernah menjadi target penyuluhan program GARIS?

Pengalaman penulis novel ini yang pernah tinggal di Jepang dan terlibat langsung dalam pergaulan hidup Yogyakarta, semakin menguatkan bahwa novel ini bukan sekadar fiksi. Bahwa seperti itulah potret buram generasi muda kita yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Wajar jika novel ini dibeli hak ciptanya oleh Pelangi Books, sebuah penerbit di negeri Jiran Malaysia untuk diterbitkan dalam bahasa Melayu. Karena novel ini memang menyuguhkan banyak potret tentang budaya Jepang dan Indonesia, Jawa khususnya